Pekanbaru (FI) :
Seorang nasabah lembaga pembiayaan leasing ACC di Pekanbaru meleasingkan mobil merk Toyota Raize tahun 2021 nomor Polisi BM 1009 TF dengan sistem pinjam dana ke Leasing ACC dengan jumlah 100 juta dengan masa kredit atau tenor selama 48 bulan.
Nasabah berinisial HW telah melakukan kredit/mencicil sebanyak 9 kali angsuran namun baru menunggak 2 bulan saja mobil tersebut sudah langsung dirampas oleh pihak ACC dan anehnya mobil itu sudah mau dilelang, supaya tidak jadi dilelang nasabah disuruh buat pengajuan batal lelang supaya bisa mendapatkan mobilnya kembali dengan syarat tunggu jawaban dari kantor pusat kata internal ACC Agung Siagian.
Padahal leasing ACC kata HW juga tidak pernah memberikan surat kontrak perjanjian kredit kepada debitur.
“Kita baru macet 2 bulan, angsuran per bulan Rp3.8jutaan, parah sekali, kontrak perjanjian kredit saja kami tak pernah diberikan, baru kemaren saya minta diberikan,” ujarnya HW di Pekanbaru, senin (22/4/2024).
“Zolim sekali, pas saudara saya yang bawa mobil mau keluar dari halaman parkir ACC tiba-tiba distop dan diambil mobilnya. Kami pun sudah tawarkan siap untuk bayar kredit 2 bulan untuk dibayar, namun mereka tetap memaksa untuk merampas kunci mobil,” jelasnya.
“HW menceritakan mobilnya diduga dirampas sekitar 3-4 orang di halaman parkir ACC dijalan A. Yani Pekanbaru, dimana waktu itu yang membawa mobil Saudara saya,” Ucapnya.
Sementara itu pihak leasing ACC di Pekanbaru yang beralamat di Jln A. Yani setelah didatangi wartawan Fokusinvestigasi.com ke kantornya untuk dikonfirmasi, mereka tampak tak ada niat baik untuk mengembalikan mobil HW, jalan satu satunya mobil harus dilelang katanya.
Atas peristiwa itu HW akan melaporkan pihak ACC ke Polda Riau atas dugaan perampasan mobil dan menggugat secara perdata ke BPSK karena banyaknya kejanggalan-kejanggalan seperti yang dijelaskan diatas.
Menanggapi hal tersebut, Soni, SH. MH seorang advokat dan kuasa hukum HW menegaskan berdasarkan fakta tersebut diatas itu termasuk Perbuatan melawan hukum.
Soni menjelaskan pada tahun 2019 keluar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, dengan harapan terjadi keseragaman pemahaman terkait eksekusi jaminan fidusia pada umumnya dan khususnya penarikan kendaraan bermotor yang kreditnya bermasalah, dengan amar putusan sebagai berikut:
Mengadili:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;
3. Menyatakan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “cidera janji” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”.
“Untuk melakukan penarikan atau eksekusi pihak Kreditur harus mengajukan permohonan eksekusi melalui lembaga Pengadilan Negeri dimana ditanda tangani kesepakatan perjanjian kredit fiducia atau setidak tidaknya melakukan upaya gugatan melalui pengadilan untuk menyatakan debitur telah cedera janji,” jelas Soni.
Lanjut Soni, apabila kreditur melakukan upaya eksekusi sepihak dengan cara paksa maka perbuatan kreditur adalah perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada debiturnya dimana kreditur dapat digugat ke pengadilan untuk mengganti kerugian debiturnya karena mengenai parate eksekusi sudah ada regulasi nya dan ada mekanisme yang mengatur mengenai tata cara melakukan eksekusi terhadab debitur, yaitu tetap melalaui pengadilan negeri dimana dibuat kesepakatan dan dimana didaftarkan fiducia terhadap jaminan kredit.(Am)